Cerita Perwira Siliwangi Yang Membelot Kepada Militer Belanda
Jakarta - Merasa patah harapan, seorang perwira Divisi Siliwangi menyerah kepada militer Belanda. Duhujat habis kawan-kawan seperjuangan. Di kalangan Divisi Siliwangi, dia dikenal sebagai Mayor Achmad Sachdi.
Komandan Batalyon Banteng Brigade III Kian Santang (membawahi wilayah Plered dan Cikalongkulon) itu awalnya adalah seorang tentara republik yang baik dan kharismatik.
Namun entah bagaimana ceritanya, ketika
pulang dari long march (aksi perjalanan panjang dari Jawa
Tengah/Yogyakarta menuju Jawa Barat kembali) tiba-tiba dia menyeberang
ke pihak militer Belanda.
Pembelotan Sachdi sempat diabadikan oleh para fotografer Belanda. Bahkan
saat ini, kita bisa melihatnya di Gahetna (Arsip Nasional Belanda).
Dalam foto yang berjumlah enam lembar itu, Sachdi (yang memakai seragam
TNI) nampak bergaul akrab dengan para serdadu Belanda: merokok bareng
dan tertawa-tawa gembira. Di bagian lain, terlihat lelaki bertubuh kecil
itu berbicara di sebuah pinggir hutan dan tengah memegang pengeras
suara.
"Seorang mayor TNI sedang mengajak anak buahnya untuk keluar dari hutan ..."tulis keterangan yang dilansir oleh Gahetna.
Menurut peneliti sejarah dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Hengky Firman, ketika militer Belanda melakukan Agresi ke-1 pada Juli
1947, Plered termasuk wilayah yang diserang dan berhasil dikuasai oleh
mereka.
Guna melanjutkan perlawanan, Sachdi dan pasukannya menyingkir ke
hutan-hutan sekitar Plered. Mereka membangun basis perlawanan di sebuah
kawasan bernama Palinggian.
Duapuluh hari setelah penyerangan militer Belanda ke Plered, pada 14
Agustus 1947, Sachdi yang sudah diangkat menjadi seorang mayor lantas
mengadakan sebuah pertemuan dengan lasykar-lasykar rakyat di Palinggian.
Mereka sepakat bahwa perlawanan terhadap militer Belanda harus dijalankan lewat aksi bersama, tidak sendiri-sendiri. Sebagai pusat koordinasi, dipilih markas Batalyon Sachdi di Palinggian.
Maka dari tempat itulah, gabungan tentara-lasykar kerap menjalankan aksi
gerilya dengan melakukan penyangongan (penghadangan) patrol-patroli
tentara Belanda yang lewat.
Perjanjian Renville pada 1947, menjadikan Divisi Siliwangi harus hijrah
ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Batalyon Sachdi termasuk pasukan yang
harus meninggalkan basisnya di Palinggian.
Singkat cerita, mereka
kemudian ditempatkan di wilayah Muntilan, Magelang dan belakangan aktif
terlibat dalam operasi penumpasan gerakan FDR (Front Demokrasi Rakjat)
pimpinan Moeso pada September-November 1948.
Minggu, 19 Desember 1948, militer Belanda menjalankan aksi Agresi ke-2
secara tiba-tiba. Sesuai perintah Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman,
Divisi Siliwangi lantas melakukan aksi long march (perjalanan panjang)
kembali ke Jawa Barat.
Batalyon V pimpinan Sachdi berangkat dari
Muntilan pada 19 Desember 1948 menuju ke Palinggian. Mereka bergerak
dengan melalui rute Muntilan-Gunung Slamet-Kuningan-Sumedang-Taringgul
(Purwakarta).
Malangnya, pada 19 Februari 1949 ketika mereka sampai wilayah
Bantarujeg, suatu pasukan besar Belanda menyergap pergerakan Sachdi dan
anak buahnya. Setelah melalui pertempuran hebat, akhirnya pasukan Sachdi
hancur lebur. Sebagian besar yang masih hidup lantas menyerah termasuk
Mayor Sachdi sendiri.
Tetapi kisah di atas, dibantah keras oleh Gar Soepangat, eks perwira
dari Satoean Pemberontak 88 (SP 88). Itu nama suatu kesatuan khusus yang
dirancang untuk mengadakan perlawanan selama Jawa Barat ditinggalkan
oleh Divisi Siliwangi.
Menurut Gar, sepulang long march, Sachdi merasa
patah harapan untuk mengalahkan militer Belanda yang menurutnya serba
kuat dalam segala hal. Dengan dalih, anak buahnya sudah lelah berperang,
Mayor Sachdi lantas menyerahkan diri secara sukarela ke militer Belanda
dan menjalankan perjanjian gencatan senjata sepihak.
"Sebagian besar anak buahnya tidak terima dan lebih memilih balik ke
hutan untuk melakukan perlawanan,"ujar lelaki kelahiran Purwakarta pada
1928 tersebut.
Sebagai eks perwira tinggi TNI, Sachdi lantas dimanfaatkan militer
Belanda untuk mensosialisasikan 'gencatan senjata' sepihak tersebut
kepada para anak buahnya yang masih memilih bertahan di hutan-hutan.
Upaya itu memang sengaja dilakukan oleh militer Belanda untuk melakukan
"pembusukan" TNI di Jawa Barat. Gar masih ingat, bagaimana sang mayor berkeliling ke pelosok-pelosok
dengan membawa pengeras suara seraya berseru agar para pejuang Indonesia
menyudahi permusuhannya dengan tentara Belanda.
"Dia berkeliling kayak tukang obat dan hidup enak, sementara kami
bertahan di hutan-hutan. Saya dan kawan-kawan tentunya tak akan pernah
melupakan pengkhianatannya itu ..."ujar Gar.
Ketika perang berakhir, Sachdi lolos dari 'hukum revolusi'. Alih-alih
ditembak mati, karena kepiawaiannya sebagai seorang politisi, dia
berhasil kembali masuk ke sistem.
Menurut Gar, sebelum meninggal pada tahun 1970-an, sebuah partai politik di era Orde Baru sempat mengangkatnya sebagai fungsionaris partai tersebut.
Komentar
Posting Komentar