Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2021

Mengenal Kisah Willem Charles Harderman, Seorang Gubernur Jatim Yang Menguasai Beberapa Bahasa Asing

Jakarta - Gubernur Willem Charles Hardeman memimpin Provinsi Jawa Timur pada periode 1 Juli 1928 hingga 31 Maret 1931. Ia dikenal sebagai intelektual yang menguasai beberapa bahasa asing, seperti Bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris. Selain itu, ia juga fasih berbahasa Jawa, Melayu, Sunda, dan Madura. Willem Charles Hardeman lahir di Surabaya, 31 Januari 1884 dari pasangan J A. Hardeman dan W.C.G. van Zijl de Jong. Ia menjalani pendidikannya di Eindexamen HBS, Groot Ambtenarenexamen dan Klein Notaris Examen. Kariernya dalam pemerintahan berawal saat ia diangkat menjadi pegawai di Dinas Sipil melalui besluit tanggal 21 Oktober 1903 Nomor 20. Residen Surabaya Kemampuan Hardeman menjalin komunikasi dengan banyak pihak menarik atensi pimpinan Binnenlandsch Bestuur. Karier Hardeman word play here berkembang dengan cepat. Berdasarkan catatan Binnenlandsch Bestuur, Haerdeman merupakan orang yang memiliki banyak inisiatif, sekalipun pengalamannya di bidang pemerintahan bel

Mengenal Kisah Sejarah Perbudakan Masa Lalu di Batavia

Jakarta - Bagaimana sistem perbudakan menjadi trend di kalangan para bangsawan, pebisnis dan kolonialis di masa lalu. Sudah hampir dua tahun ini, Jalan Sultan Agung terlihat agak longgar. Kendaraan bermotor yang biasanya memenuhi ruas jalannya, berjumlah tidak begitu banyak. Padahal sebelum pandemi melanda, jalur yang memanjang di depan Pasar Rumput itu dikenal sebagai salah satu titik kemacetan Jakarta.  Itu terjadi karena deretan para pedagang kaki lima yang tidak mengindahkan aturan dan angkutan umum yang berhenti sembarangan, sehingga arus lalu lintas sering tersumbat. "Terutama kalau di waktu pagi dan sore, wah macetnya enggak ketulungan dah,"ujar Zaini, salah satu warga Jakarta yang tinggal di kawasan Manggarai. Di era Hindia Belanda berkuasa, Jalan Sultan Agung masih bernama Jan Pieterzoon Coenstraat (Jalan Jan Pieterzoon Coen). Itu nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkemuka yang dalam sejarah, orang Betawi menjulukinya sebagai 'Tuan Mur Jangkung'. Menuru

Mengetahui Sejarah kampung "Londo Ireng" Kampung Afrika di Purworejo

Jakarta   - Pada masa kolonialisme, Pemerintah Belanda tak hanya merekrut orang-orang dari negerinya untuk menjadi tentara yang mengawal keamanan di negeri jajahan. Dalam tugas ini, mereka juga merekrut orang-orang dari luar negeri mereka, salah satunya dari Afrika. Mengingat warna kulitnya yang hitam, saat bertugas mengawal keamanan di Jawa mereka mendapat julukan "londo ireng". Sebagai kelompok prajurit, bekas pemukiman londo ireng tersebar di berbagai kota. Di Purworejo, Jawa Tengah, ada sebuah daerah yang bernama Kampung Afrikan. Dulunya, Kampung Afrikan merupakan sebuah kompleks perumahan peninggalan period pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi tentara bayaran yang didatangkan dari Benua Afrika. Namun saat ini sudah tidak ada lagi keturunan Afrika yang tinggal di kampung tersebut. Lantas bagaimana sejarah kampung tersebut? Berikut selengkapnya: Sejarah Kampung Afrikan Dalam sebuah manuskrip yang ditemukan pada tahun 1986 milik seo

Kisah Cerita Dari Camp Konsentrasi Eks PKI di Cianjur

Jakarta - Berbeda dengan situasi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta, para anggota PKI di Jawa Barat tidak sempat menjadi korban pembantaian. Di Cianjur, mereka malah dimanfaatkan sebagai pekerja paksa. GEDUNG besar di kawasan Panembong, Cianjur itu kini sudah berubah menjadi kantor cabang sebuah financial institution swasta. Padahal dulunya di sana sempat berdiri sebuah pabrik karet yang kemudian dialihfungsikan menjadi kamp penampungan para tahanan PKI pasca terjadinya Insiden G30S. "Di sana ditahan sekitar 1500 orang yang dituduh sebagai anggota PKI,"ungkap Rosidi seperti dikisahkan kepada Tosca Santoso dalam Cerita Hidup Rosidi. Agus Thosin masih ingat ada beberapa kenalannya yang pernah menghuni gedung itu. Diantara adalah Asep Noor (bukan nama sebenarnya) dan Irsan (bukan nama sebenarnya). Mereka masing-masing adalah bekas anggota Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) dan Barisan Tani Indonesia (BTI). "Saya kenal Asep karena setiap 17 Agustus, di