Kisah Cerita Dari Camp Konsentrasi Eks PKI di Cianjur
Jakarta - Berbeda dengan situasi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta, para
anggota PKI di Jawa Barat tidak sempat menjadi korban pembantaian. Di
Cianjur, mereka malah dimanfaatkan sebagai pekerja paksa.
GEDUNG besar di kawasan Panembong, Cianjur itu kini sudah berubah
menjadi kantor cabang sebuah financial institution swasta. Padahal
dulunya di sana sempat berdiri sebuah pabrik karet yang kemudian
dialihfungsikan menjadi kamp penampungan para tahanan PKI pasca
terjadinya Insiden G30S.
"Di sana ditahan sekitar 1500 orang yang dituduh sebagai anggota PKI,"ungkap Rosidi seperti dikisahkan kepada Tosca Santoso dalam Cerita Hidup
Rosidi.
Agus Thosin masih ingat ada beberapa kenalannya yang pernah menghuni
gedung itu. Diantara adalah Asep Noor (bukan nama sebenarnya) dan Irsan
(bukan nama sebenarnya). Mereka masing-masing adalah bekas anggota
Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) dan Barisan Tani Indonesia (BTI).
"Saya kenal Asep karena setiap 17 Agustus, dia selalu memainkan lakon
sandiwara perjuangan di Cianjur. Orangnya memang aktif,"kenang Agus.
Rosidi yang bekas anggota Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
(SARBUPRI) menghuni Kamp Panembong bersama sang istri yang bernama Oneh
hampir selama tujuh tahun. Oneh malah melahirkan anaknya yang diberi
nama Wawan Sudrajat justru di kamp itu pada 1968.
Kendati diperlakukan baik, namun para tahanan politik tersebut
diwajibkan untuk menjadi pekerja paksa. Setiap hari mereka harus banting
tulang di restoran, pabrik-pabrik dan perkantoran milik pemerintah.
Tentu saja tak ada bayaran. Mereka hanya diberi makan dan minum sehari
tiga kali.
Berhenti bekerja dari sebuah restoran pada 1972, Rosidi bersama penghuni
Kamp Panembong lainnya kemudian dipindahkan ke Sarongge, suatu wilayah
perkebunan teh yang terletak persis di kaki Gunung Gemuruh. Mereka
diperintahkan untuk membuka lahan yang nantinya akan ditanami sayur
mayur.
"Mereka benar-benar menetap di Sarongge pada 1974,"ungkap Tosca.
Di Sarongge kemudian berdiri perkampungan para tapol. Dari penelusuran
yang dilakukan oleh Tosca, kini jumlah para eks tapol hanya tersisa
sekitar 20 orang. Rerata mereka sudah banyak yang meninggal. Dalam
istilah Tosca, Sarongge ibarat 'miniatur Pulau Buru' di Cianjur.
Tidak semua eks tahanan politik PKI di Cianjur menempati Kamp Panembong.
Beberapa eks anggota PKI yang dianggap 'kakap' tentu saja harus
diberangkatkan ke Pulau Buru, Maluku. Salah satunya adalah Warso, eks
anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
"Namun Pak Warso sempat balik lagi ke Cianjur. Sebelum meninggal pada
1980-an, dia sempat menjadi tukang becak,"tutur Agus Thosin.
Berbeda dengan kawan-kawan separtai mereka di Jawa Tengah, Yogyakarta
dan Jawa Timur, nasib eks anggota PKI di Jawa Barat memang 'sedikit
beruntung'. Mereka memang tidak dibantai, namun hanya 'diamankan' sesuai
instruksi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, Panglima Kodam VI Siliwangi
saat itu.
Apa yang menyebabkan Adjie tidak mengikuti gaya rekan-rekannya di
sejumlah daerah? Menurut Kikie Adjie, ayahnya memilih cara persuasif
karena sangat paham situasi psikologis rakyat Jawa Barat sudah 'letih'
dengan kekerasan.
"Ayah pernah bilang ke saya, rakyat Jawa Barat itu sudah kenyang dengan
kekerasan selama 13 tahun berhadapan sama Darul Islam. Masa harus
ditambah lagi?" ujar anak ke-3 dari Ibrahim Adjie tersebut.
Guna meminimalkan timbulnya korban jiwa, Adjie bersama Gubernur Jawa
Barat Mashudi malah sempat mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk
secepatnya membubarkan PKI. Namun usul itu dianggap dingin oleh Si Bung
Besar.
"Ibrahim Adjie dan Mashudi berpikir bahwa kalau saja Bung Karno mau
membubarkan PKI waktu itu, maka pembersihan tanpa proses pengadilan itu
akan terhenti ..." ungkap Nina Herlina Lubis dalam Malam Bencana 1965.
Sejarah tentang PKI di Cianjur saat ini memang benar-benar telah menjadi
fosil. Laiknya nasib bekas kantor Comite Sektor PKI Cianjur yang
terletak di kawasan Jalan Arya Cikondang: kini telah menjadi puing-puing
dan semak belukar.
Komentar
Posting Komentar